Thursday, October 23, 2008

# 1

Dia muncul begitu saja saat kedua mataku terbuka di tengah malam. Berdiri kokoh di hadapanku, tepat menjulang di atas tempat tidurku. Sosok yang aneh menurutku, karena begitu mirip dengan diriku. Matanya yang besar, hidungnya yang mancung, juga rambut hitamnya yang tergerai lurus sepanjang bahu. Yang membedakan antara dia dan aku hanya satu; kulitnya yang putih pucat itu sama sekali tidak bisa kusentuh. Tidak dengan jari-jariku, tidak juga dengan seluruh tubuhku. Dia nampak, namun seolah tidak tampak.

Kemunculan pertamanya itu diikuti oleh kemunculan-kemunculan berikutnya. Bahkan sejak ulang tahunku yang ketujuhbelas beberapa hari lalu, dia seolah menjadi bayangan diriku. Berjalan tertatih di sampingku, atau malah berlari-lari kecil di belakangku.

"Dari mana kamu tahu tentang Malika?" Mata ibu membesar ketika aku menyebut nama itu.

"Dia selalu bersamaku, Ibu. Dia selalu ada di dekatku. Terdiam. Tertawa. Bahkan kadang kami menangis bersama, Bu."

Kulihat mata ibu makin membesar mendengar penjelasanku. Bahkan sebelum menjawab pertanyaanku, kulihat ibu menghela nafas panjang berkali-kali sebelum menghembuskannya lambat-lambat.

"Malika itu kembaran kamu, Alinda. Dia meninggal saat berumur dua tahun karena demam berdarah. Saat itu Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan, begitu juga Ayah... sehingga kami tidak menyadari keadaannya yang semakin parah. Maafkan kami, Alinda karena telah memisahkan kalian...," suara Ibu menghilang begitu tangisnya pecah.

Dan aku di hadapannya hanya bisa terdiam. Seluruh tubuhku gemetar. Bibirku juga ikut bergetar. Hingga tanpa sadar jari-jariku mengepal keras... dan aku pun terjatuh lemas.

No comments: